Friday, April 15, 2005

Wisata Indonesia : Tugu Kilometer Nol, Kota Sabang Nanggroe Aceh Darussalam

Tugu Nol Kilometer Indonesia
Boleh jadi lagu “Dari Sabang Sampai Merauke” gubahan R. Surarjo merupakan salah satu lagu legendaris bagi masyarakat Indonesia. Lagu ini menjadi lagu yang selalu diajarkan oleh guru Taman Kanak-kanak ataupun guru Sekolah Dasar kepada murid-muridnya. Secara tidak langsung lagu ini menggambarkan rentang wilayah geografis Repubik Indonesia yang membentang dari Sabang, sebuah kota di ujung Sumatra, hingga Merauke, sebuah kota di ujung Timur Pulau Papua.

Berbicara tentang bentangan wilayah Republik Indonesia, akan muncul satu pertanyaan tentang keberadaan titik nol Indonesia. Merujuk pada lagu di atas, akan diketahui bahwa titik nol Indonesia terletak di wilayah Sabang, Nanggroe Aceh Darusalam (NAD). Sabang merupakan kota kepulauan dengan Pulau Weh sebagai pulau terbesar. Oleh karena itu, banyak orang yang menyebut Pulau Weh sebagai Pulau Sabang. Di pulau ini terdapat Tugu Kilometer Nol sebagai tanda titik awal penghitungan kilometer di Indonesia.
Tugu Kilometer Nol merupakan sebuah bangunan yang menjulang setinggi 22,5 meter dan terletak pada ketinggian 43,6 m di atas permukaan laut (dpl). Tugu ini berbentuk lingkaran berjeruji dan semua bagiannya dicat dengan warna putih. Bagian atas lingkaran ini menyempit seperti mata bor. Di puncak tugu bertengger patung burung garuda menggenggam angka nol. Sebuah prasasti marmer hitam menunjukkan posisi geografis tempat ini: Lintang Utara 05 54` 21,99" Bujur Timur 95 12` 59,02". Selain itu, di dinding bangunan juga tertempel prasasti peresmian tugu yang ditandatangani oleh Try Sutrisno saat masih menjabat sebagai Wakil Presiden. Prasasti itu ditandatangani di Banda Aceh, ibukota NAD, pada 9 September 1997.
Prasasti Nol Kilometer
 Sebelumnya terdapat tugu lain yang diyakini sebagai `kilometer nol` Indonesia. Namun, setelah dilakukan penelitian oleh pakar Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS), lokasi itulah yang kemudian diputuskan sebagai titik nol Indonesia. Hal itu tertulis dalam prasati lainnya yang ditandatangani oleh BJ Habibie yang menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi/Ketua BPPT, pada tanggal 24 September 1987. Oleh karena itu, tugu yang lama dinyatakan sebagai kilometer tujuh Indonesia.

Terletak di areal Hutan Wisata Sabang, membuat perjalanan menuju lokasi Tugu Kilometer Nol menjadi rekreasi tersendiri. Untuk mencapai tempat ini para wisatawan akan melewati kaki bukit dan tebing dengan pemandangan yang indah. Hutan tropis di hutan lindung masih terpelihara dengan baik, sementara di sisi kanan jalan, birunya air laut terlihat dengan jelas. Jika Anda beruntung, terkadang ada sekawanan monyet yang bergelantungan dari pohon ke pohon, bahkan mereka juga sering berdiri di tengah jalan serta menunggu para wisatawan melemparkan makanan.
Nol Kilometer
Sesampainya di lokasi akan terlihat sebuah bangunan putih berbentuk bundar yang terdiri dari dua lantai. Untuk mencapai bangunan tersebut Anda harus menaiki beberapa undakan. Di lantai pertama terdapat sebuah pilar dan sebuah prasasti yang ditandatangani Try Sutrisno. Naik ke lantai dua, Anda akan melihat birunya langit dan hijaunya pepohonan, karena lantai ini beratap terbuka. Di lantai dua ini terdapat dua prasasti. Prasasti pertama menjelaskan bahwa penetapan posisi geografis KM-0 Indonesia ini diukur oleh pakar BPPT. Sedangkan prasasti kedua menjelaskan posisi geografis tugu itu dalam angka-angka.
Di seberang jalan tugu tersebut, terdapat sebuah batu penanda jarak berwarna kuning seperti yang biasa terlihat di pinggir jalan. Bedanya di batu tersebut tertulis angka nol. Hal yang tak lazim dijumpai pada batu penanda jarak lainnya. Di sekeliling tugu tersebut terdapat pepohonan yang tertata rapi. Anda dapat duduk di halte yang tersedia di tempat itu, kemudian melayangkan pandangan ke arah Lautan Hindia. Berhubung Pulau Weh merupakan daratan paling ujung, maka tidak akan ada pulau pengalang pandangan hingga jauh ke laut lepas. Pemandangan dari atas bukit ini cantik sekali dengan latar laut membiru dan suara angin menderu.
Menjelang senja, wisatawan yang berkunjung ke tugu ini cenderung meningkat. Hal ini dikarenakan mereka ingin menyaksikan proses terbenamnya matahari. Bola matahari berwarna jingga, kemudian berubah menjadi merah menyala di antara awan tipis, lantas tenggelam ke laut yang juga menjadi merah. Setelah itu, pemandangan akan berubah menjadi gelap, dan hanya ada kerlip bintang di bentangan luas langit malam.
Berada di kilometer nol Indonesia akan memberikan sensasi yang berbeda bagi Anda. Sebagai bukti bahwa Anda pernah berada di kilometer nol Indonesia, Anda dapat meminta piagam ke Dinas Pariwisata Kota Sabang. Jika Anda telah puas menikmati pesona Tugu Kilometer Nol Indonesia, Anda dapat melanjutkan perjalanan ke obyek wisata lain yang ada di dekat tugu ini. Obyek wisata itu antara lain: Pantai Iboih, Pantai Gapang, Pantai Kasih, Pantai Pasir Putih, Pantai Sumur Tiga, Pantai Anontam, Pantai Tapak Gajah atau Pantai Lhung Angen. Bagi Anda yang memiliki waktu luang Anda juga bisa mendatangi Pulau Rubiah, Pulau Klah, Pulau Rondo dan Pulau Seulako. Semua keindahan obyek wisata tersebut akan makin membuat Anda jatuh cinta dengan kota di ujung Barat Indonesia ini.

Tugu Kilometer Nol berada dalam areal Hutan Wisata Sabang di Ujung Ba`u, Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang, Nanggroe Aceh Darusalam, Indonesia.

Tugu ini terletak sekitar 30 km ke arah Barat dari Kota Sabang. Untuk mencapai Tugu Nol Kilometer Anda dapat menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat, dan akan memakan waktu sekitar 1-1,5 jam perjalanan. Bagi Anda yang berangkat dari Banda Aceh, Anda dapat naik kapal cepat Bahari Express dari pelabuhan Ulee Lheu kemudian turun di pelabuhan Baloohan Sabang. Tiket Bahari Express seharga Rp50.000,00 untuk non AC, Rp 60.000,00 untuk AC dan Rp70.000,00 untuk VIP. Dari pelabuhan Baloohan Anda bisa naik taksi seharga Rp50.000,00 per orang atau mencarter mobil seharga Rp250.000 untuk sekali jalan sampai ke lokasi (Agustus 2008).

Wednesday, April 13, 2005

Wisata Indonesia : Gedung Linggarjati, Kabupaten Kuningan

Gedung Linggarjati
Desa Linggarjati merupakan sebuah Desa kecil yang berada di salah satu wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Praktis desa kecil ini dikenal oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia dan dunia, pada saat dilaksanakannya Perjanjian Linggarjati, pada tanggal 10-13 November 1946. Perjanjian ini dianggap sebagai perjanjian yang sangat penting, karena berhubungan erat dengan eksistensi Pemerintah Indonesia dimata dunia pada waktu itu, baik secara De Facto dan De Jure dipertaruhkan.

Ibarat sungai, Linggarjati merupakan salah satu mata air yang mengaliri sungai tersebut, sehingga air mengalir terus sampai ke hilir dan akhirnya bermuara di laut membentuk lautan yang luas dengan segala kekayaaan alamnya. Begitupun dengan Linggarjati, merupakan bagian yang sangat penting dari perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, sehingga sampai sekarang bisa menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Gedung Linggarjati

Diantara isi pokok persetujuan Linggarjati adalah : (1) Belanda mengakui secara De Facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura; (2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk negara Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia;(3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.

Peristiwa yang berlangsung 59 tahun silam tersebut, masih dapat kita saksikan melalui peninggalan-peninggalan yang ada di Gedung Linggarjati, sekaligus dijadikan sebagai salah satu bangunan cagar budaya oleh Pemerintah sesuai dengan UU.No.5 tahun 1992. Desa Linggarjati sendiri berada di wilayah Blok Wage, Dusun Tiga, Kampung Cipaku, kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Desa ini terletak pada ketinggian 400 meter di atas permukaan air laut, dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Sebelah selatan desa ini berbatasan dengan Desa Linggasana, sebelah timur berbatasan dengan Desa Linggamekar, sebelah utara berbatasan dengan Desa Lingga Indah dan sebelah barat berbatasan dengan Gunung Ciremai. Untuk mencapai lokasi ini tidaklah terlalu sulit, karena akses jalan aspal yang mulus, sehingga mudah sekali dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Dari arah Cirebon kurang lebih 25 km sedangkan dari arah Kuningan kurang lebih 17 km.

Hawa sejuk dan damai akan kita rasakan ketika mulai memasuki pelataran Gedung Linggarjati. Bangunan kuno dan megah yang dikelilingi oleh taman yang asri, dengan suasana yang tidak terlalu ramai, semakin menambah penghayatan suasana Linggarjati. Luas komplek Linggarjati kurang lebih 2,4 hektare, dimana sepertiga dari luas tersebut merupakan bangunan gedung yang dipergunakan untuk perundingan. 

Delegasi Linggarjati

Bangunan ini sendiri tadinya dibangun oleh warga negara Belanda, sebagai tempat peristirahatan, yang kemudian dipilih sebagai tempat perundingan dan akhirnya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia sebagai salah satu bangunan cagar budaya Pemerintah Indonesia. Walaupun berupa bangunan lama, tapi secara keseluruhan kebersihan gedung ini nampak terjaga sekali. Ada 14 orang yang membantu merawat gedung ini, diantaranya 7 orang merupakan PNS ( Pegawai Negeri Sipil ), dan sisanya adalah pegawai honorer.

Bangunan ini terdiri dari beberapa ruang, yaitu ruang tamu, ruang tengah, kamar tidur, kamar mandi dan ruang belakang. Ruang tamu dipergunakan sebagai ruang untuk melakukan lobi dan meeting informal. ruang tengah merupakan ruang utama, dimana perjanjian Linggarjati dilaksanakan. Ternyata posisi kursi yang diduduki oleh para anggota perundingan masih sama seperti dulu waktu perundingan dilangsungkan. diantara para peserta perundingan tersebut adalah :

Delegasi Indonesia terdiri dari : 
  1. Sutan Sjahrir, 
  2. Mr.Soesanto Tirtoprodjo, 
  3. Dr.A.K.Gani, 
  4. Mr.Muhammad Roem. 

Delegasi Belanda terdiri dari: 
  1. Prof.Ir. Schermerhorn, 
  2. Mr.Van Poll, 
  3. Dr.F.DeBoer, 
  4. Dr.Van Mook. 

Dan sebagai notulensi adalah; 
  1. Dr.J.Leimena, 
  2. Dr.Soedarsono 
  3. Mr.Amir Sjarifuddin, 
  4. Mr.Ali Budiardjo. 

Kamar-kamar tidur yang bersebelahan dengan ruang perundingan merupakan tempat tidur yang dipergunakan oleh delegasi Indonesia dan Belanda selama mengikuti jalannya perundingan.

Ruang Dalam Gedung Linggarjati
Hari-hari biasa tempat ini biasanya sepi pengunjung, paling-paling kalau ada kunjungan biasanya kunjungan nostalgia dari para wisman Belanda yang ingin. Baru pada hari libur, tempat ini ramai dikunjungi oleh pengunjung yang hampir sebagian besar adalah anak-anak sekolah, yang tidak hanya berasal dari daerah sekitar, namun juga berasal dari seluruh wilayah Indonesia. Biaya operasional tempat ini, selain diberi subsidi oleh Pemerintah, juga sedikit terbantu oleh kehadiran pengunjung.

Pengunjung yang datang diharapkan bisa mengisi uang kas dengan jumlah seikhlasnya, kemudian uang tersebut digunakan untuk membantu biaya perawatan gedung. Menurut Pak Judi, salah satu petugas museum mengatakan,"Peranan pemerintah untuk menjaga kelestarian gedung ini sangat diharapkan, terutama dalam hal pendanaan,". Selama ini banyak sekali para Pejabat Pemerintah yang memberikan sumbang saran, namun lebih dari itu adalah bukti konkret berupa pendanaan untuk terus menjaga kelestarian Gedung Linggarjati.

Tidak jauh dari Museum Linggarjati, tersedia juga obyek wisata alam sebagai pelengkap wisata Museum Linggarjati. Tempat tersebut terdiri dari taman-taman dengan pohon-pohon yang rindang dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang lain. Seperti kolam renang, kemudian danau buatan-dimana kita bisa melintasi danau tersebut dengan perahu karet dan tersedia juga pondok-pondok penginapan bagi pengunjung yang ingin menginap ditempat tersebut.

Sayangnya, pengelolaan tempat tersebut kurang diperhatikan, sehingga terlihat agak kotor, banyak sampah yang berserakan dan pengaturan taman-taman yang kurang rapi, sehingga banyak rumput yang tumbuh disana-sini. Untuk menjaring pengunjung yang lebih banyak, pemda setempat harus lebih peduli, baik dalam hal pengelolaan maupun dalam hal promosi. Karena lokasi yang mudah dijangkau, serta udara yang cukup sejuk, wisata ini kalau dikelola secara profesional tentu kedepan akan semakin menarik banyak wisatawan.

Friday, April 8, 2005

Wisata Indonesia : Wisata Sejarah Benteng Victoria, Maluku

Benteng Victoria jaman Belanda
Benteng Victoria merupakan tempat bersejarah yang terletak tepat di pusat kota Ambon. Benteng tertua di Ambon ini dibangun oleh Portugis pada tahun 1775, yang selanjutnya diambil alih oleh Belanda. Belanda kemudian menjadikan benteng ini sebagai pusat pemerintahan untuk mengeruk harta kekayaan masyarakat pribumi, berupa rempah-rempah yang melimpah di bumi Maluku.

Pada masa pemerintahan Belanda, benteng ini berfungsi strategis, yakni sebagai pusat pemerintahan kolonial. Di depan benteng terdapat pelabuhan yang digunakan sebagai jalur perhubungan laut antar pulau. Melalui pelabuhan ini pula kapal-kapal Belanda mengangkut hasil rempah-rempah untuk didistribusikan ke beberapa negara di benua Eropa. Bersebelahan dengan benteng ini, juga terdapat pasar yang menjadi tempat untuk mempertemukan komunitas para pedagang pribumi. Benteng ini juga digunakan sebagai tempat pertahanan dari berbagai serangan masyarakat pribumi yang melakukan perlawanan. Dan, tepat di depan benteng inilah pahlawan nasional bernama Pattimura digantung, yakni pada tanggal 6 Desember 1817.

Di dalam benteng dapat ditemui sisa-sisa meriam berukuran raksasa. Di beberapa kamar terdapat patung berukir terbuat dari kayu pilihan, peta perkembangan kota Ambon dari abad XVII hingga abad IX, dan beberapa koleksi lukisan para administratur Belanda di Maluku. Dengan melihat peninggalan ini pengunjung dapat merekam sejarah lahir dan berkembangnya kota Ambon.

Sedangkan ruas jalan di sisi depan benteng atau yang disebut “Boulevard Victoria” menghubungkan langsung ke arah bibir Pantai Honipopu. Tepat di depan benteng, wisatawan dapat langsung menyaksikan Teluk Ambon yang sangat indah di saat senja hari, khususnya ketika matahari mulai tenggelam.
Benteng Victoria
Benteng Victoria terletak di Kecamatan Sirimau, Kotamadya Ambon, Provinsi Maluku. Karena terletak tepat di tengah kota, maka pengunjung dapat langsung jalan kaki ke arah timur sejauh 300 meter dari Terminal Mardika, terminal angkutan umum yang terletak di pusat kota. Jika pengunjung naik becak, dikenakan biaya Rp. 3.000, dan Rp. 1500 jika naik angkutan umum.

Pengunjung tidak dikenai biaya masuk ke lokasi wisata ini. Di depan benteng terdapat kafe-kafe tenda yang menjual berbagai makanan kecil khas Ambon. Tidak jauh dari benteng ini juga terdapat hotel bintang dua dan penginapan kelas melati, sehingga para wisatawan yang berasal dari luar daerah dapat bermalam di tempat tersebut.

Wisata Indonesia : Gua Sunyaragi, Cirebon


Sunyaragi berlokasi di kelurahan Sunyaragi, Kesambi, Kota Cirebon dimana terdapat bangunan mirip candi yang disebut Gua Sunyaragi, atau Taman Air Sunyaragi, atau sering disebut sebgaai Tamansari Sunyaragi. Nama “Sunyaragi” berasal dari kata “sunya” yang artinya adalah sepi dan “ragi” yang berarti raga, keduanya adalah bahasa Sansekerta. Tujuan utama didirikannya gua tersebut adalah sebagai tempat beristirahat dan meditasi para Sultan Cirebon dan keluarganya.


Taman Air Sunyaragi
 Gua Sunyaragi merupakan salah satu benda cagar budaya yang berada di Kota Cirebon dengan luas sekitar 15 hektar. Objek cagar budaya ini berada di sisi jalan by pass Brigjen Dharsono, Cirebon. Konstruksi dan komposisi bangunan situs ini merupakan sebuah taman air. Karena itu Gua Sunyaragi disebut taman air gua Sunyaragi. Pada zaman dahulu kompleks gua tersebut dikelilingi oleh danau yaitu Danau Jati. Lokasi dimana dulu terdapat Danau Jati saat ini sudah mengering dan dilalui jalan by pass Brigjen Dharsono, sungai Situngkul, lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Gas, Sunyaragi milik PLN, persawahan dan menjadi pemukiman penduduk. Selain itu di gua tersebut banyak terdapat air terjun buatan sebagai penghias, dan hiasan taman seperti Gajah, patung wanita Perawan Sunti, dan Patung Garuda. Gua Sunyaragi merupakan salah satu bagian dari keraton Pakungwati sekarang bernama keraton Kasepuhan.

Lukisan artis tentang gua Sunyaragi
Lukisan suryaragi
Kompleks tamansari Sunyaragi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu pesanggrahan dan bangunan gua. Bagian pesanggrahan dilengkapi dengan serambi, ruang tidur, kamar mandi, kamar rias, ruang ibadah dan dikelilingi oleh taman lengkap dengan kolam. Bangunan gua-gua berbentuk gunung-gunungan, dilengkapi terowongan penghubung bawah tanah dan saluran air. Bagian luar komplek aku bermotif batu karang dan awan. Pintu gerbang luar berbentuk candi bentar dan pintu dalamnya berbentuk paduraksa.

Induk seluruh gua bernama Gua Peteng (Gua Gelap) yang digunakan untuk bersemadi. Selain itu ada Gua Pande Kemasan yang khusus digunakan untuk bengkel kerja pembuatan senjata sekaligus tempat penyimpanannya. Perbekalan dan makanan prajurit disimpan di Gua Pawon. Gua Pengawal yang berada di bagian bawah untuk tempat berjaga para pengawal. Saat Sultan menerima bawahan untuk bermufakat, digunakan Bangsal Jinem, akan tetapi kala Sultan beristirahat di Mande Beling. Sedang Gua Padang Ati (Hati Terang), khusus tempat bertapa para Sultan.

Sejarah Pembangunan Gua Sunyaragi
Gua Suyaragi
Gua Sunyaragi dengan latar belakang PLTG dan Gunung Ciremai Sejarah berdirinya gua Sunyaragi memiliki dua buah versi, yang pertama adalah berita lisan tentang sejarah berdirinya gua Sunyaragi yang disampaikan secara turun-temurun oleh para bangsawan Cirebon atau keturunan keraton. Versi tersebut lebih dikenal dengan sebutan versi Carub Kanda. Versi yang kedua adalah versi Caruban Nagari yaitu berdasarkan buku “Purwaka Caruban Nagari” tulisan tangan Pangeran Kararangen tahun 1720. Namun sejarah berdirinya gua Sunyaragi versi Caruban Nagari berdasarkan sumber tertulislah yang digunakan sebagai acuan para pemandu wisata gua Sunyaragi yaitu tahun 1703 Masehi untuk menerangkan tentang sejarah gua Sunyaragi karena sumber tertulis lebih memiliki bukti yang kuat daripada sumber-sumber lisan. Kompleks Sunyaragi dilahirkan lewat proses yang teramat panjang. Tempat ini beberapa kali mengalami perombakan dan perbaikan. Menurut buku Purwaka Carabuna Nagari karya Pangeran Arya Carbon, Tamansari Gua Sunyaragi dibangun pada tahun 1703 M oleh Pangeran Kararangen. Pangeran Kararangen adalah nama lain dari Pangeran Arya Carbon.

Namun menurut Caruban Kandha dan beberapa catatan dari Keraton Kasepuhan, Tamansari dibangun karena Pesanggrahan ”Giri Nur Sapta Rengga” berubah fungsi menjadi tempat pemakaman raja-raja Cirebon, yang sekarang dikenal sebagai Astana Gunung Jati. Terutama dihubungkan dengan perluasan Keraton Pakungwati (sekarang Keraton Kasepuhan Cirebon) yang terjadi pada tahun 1529 M, dengan pembangunan tembok keliling keraton, Siti Inggil dan lain-lain. Sebagai data perbandingan, Siti Inggil dibangun dengan ditandai candra sengkala ”Benteng Tinataan Bata” yang menunjuk angka tahun 1529 M.
Di Tamansari Gua Sunyaragi ada sebuah taman Candrasengkala yang disebut ”Taman Bujengin Obahing Bumi” yang menunjuk angka tahun 1529. Di kedua tempat itu juga terdapat persamaan, yakni terdapat gapura ”Candi Bentar” yang sama besar bentuk dan penggarapannya. Pangeran Kararangen hanya membangun kompleks Gua Arga Jumut dan Mande Kemasan saja.

Arsitektur Gua Sunyaragi
Arsitektur Suryaragi
Menurut R. Supriyanto, mahasiswa jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Desain dan Seni UNIKOM yang membuat tesis berupa film dukomenter tentang Gua Sunyaragi, dilihat dari gaya atau corak dan motif-motif ragam rias yang muncul serta pola-pola bangunan yang beraneka ragam dapat disimpulkan bahwa gaya arsitektur gua Sunyaragi merupakan hasil dari perpaduan antara gaya Indonesia klasik atau Hindu, gaya Cina atau Tiongkok kuno, gaya Timur Tengah atau Islam dan gaya Eropa.
Gaya Indonesia klasik atau Hindu dapat terlihat pada beberapa bangunan berbentuk joglo. Misalnya, pada bangunan Bale Kambang, Mande Beling dan gedung Pesanggrahan, bentuk gapura dan beberapa buah patung seperti patung gajah dan patung manusia berkepala garuda yang dililit oleh ular. Seluruh ornamen bangunan yang ada menunjukkan adanya suatu sinkretsime budaya yang kuat yang berasal dari berbagai dunia. Namun, umumnya dipengaruhi oleh gaya arsitektur Indonesia Klasik atau Hindu.

Gaya Cina terlihat pada ukiran bunga seperti bentuk bunga persik, bunga matahari dan bunga teratai. Di beberapa tempat, dulu Gua Sunyaragi dihiasi berbagai ornamen keramik Cina di bagian luarnya. Keramik-keramik itu sudah lama hilang atau rusak sehingga tidak diketahui coraknya yang pasti. Penempatan [[keramik|keramik-keramik] pada bangunan Mande Beling serta motif mega mendung seperti pada kompleks bangunan gua Arga Jumut memperlihatkan bahwa gua Sunyaragi mendapatkan pengaruh gaya arsitektur Cina. Selain itu ada pula kuburan Cina, kuburan tersebut bukanlah kuburan dari seseorang keturunan Cina melainkan merupakan sejenis monumen yang berfungsi sebagai tempat berdoa para keturunan pengiring-pengiring dan pengawal-pengawal Putri Cina yang bernama Ong Tien Nio atau Ratu Rara Sumanding yang merupakan istri dari Sunan Gunung Jati.

Sebagai peninggalan keraton yang dipimpin oleh Sultan yang beragama Islam, gua Sunyaragi dilengkapi pula oleh pola-pola arsitektur bergaya Islam atau Timur Tengah. Misalnya, relung-relung pada dinding beberapa bangunan, tanda-tanda kiblat pada tiap-tiap pasholatan atau musholla, adanya beberapa pawudlon atau tempat wudhu serta bentuk bangunan Bangsal Jinem yang menyerupai bentuk Kabah jika dilihat dari sisi belakang Bangsal Jinem. Hal tersebut menjelaskan bahwa gaya arsitektur gua Sunyaragi juga mendapat pengaruh dari Timur Tengah atau Islam.

Gua Sunyaragi didirikan pada zaman penjajahan Belanda sehingga gaya arsitektur Belanda atau Eropa turut mempengaruhi gaya arsitektur gua Sunyaragi. Tanda tersebut dapat terlihat pada bentuk jendela yang tedapat pada bangunan Kaputren, bentuk tangga berputar pada gua Arga Jumut dan bentuk gedung Pesanggrahan.
Secara visual, bangunan-bangunan di kompleks gua Sunyaragi lebih banyak memunculkan kesan sakral. Kesan sakral dapat terlihat dengan adanya tempat bertapa seperti pada gua Padang Ati dan gua Kelangenan, tempat sholat dan pawudon atau tempat untuk mengambil air wudhu, lorong yang menuju ke Arab dan Cina yang terletak di dalam kompleks gua Arga Jumut; dan lorong yang menuju ke Gunung Jati pada kompleks gua Peteng. Di depan pintu masuk gua Peteng terdapat patung Perawan Sunti.

Menurut legenda masyarakat lokal, jika seorang gadis memegang patung tersebut maka ia akan susah untuk mendapatkan jodoh. Kesan sakral nampak pula pada bentuk bangunan Bangsal Jinem yang menyerupai bentuk Kabah jika dilihat dari sisi belakang Bangsal Jinem. Selain itu ada pula patung Haji Balela yang menyerupai patung Dewa Wisnu.

Pada tahun 1997 pengelolaan gua Sunyaragi diserahkan oleh pemerintah kepada pihak keraton Kasepuhan. Hal tersebut sangat berdampak pada kondisi fisik gua Sunyaragi. Kurangnya biaya pemeliharaan menyebabkan lokasi wisata gua Sunyaragi lama kelamaan makin terbengkelai.

Thursday, April 7, 2005

Wisata Indonesia : Jembatan Akar, Sumatera Barat

Jembatan Akar
Siapa yang datang di objek wisata jambatan aka (jembatan akar) pasti akan berdecak kagum, siapa tidak kagum dua pohon akar pohon yang akarnya dihubungkan antar sungai menjadi sebuah jembatan yang bisa dilalui 10 orang. Inilah dia objek wisata andalan Kabupaten Pesisir Selatan yang merupakan salah satu jembatan yang terunik di dunia. Jembatan sepanjang 10 meter dan lebar 1 meter ini terbuat dari pertautan akar dua pohon beringin yang berada di dua sisi tebing yang saling berhadapan. Jembatan ini menghubungkan Dusun Pulut-Pulut dan Lubuk Silau di Koto Bayang di Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) yang terpisah oleh Sungai Batang Bayang yang permukaannya terletak sekitar 5-6 meter dari dasar jembatan. Air sungai ini berasal dari air Danau Si Kembar yang berada di kawasan Kabupaten Solok. Di tepi sungai terdapat bebatuan besar yang cocok untuk bersantai.

Menurut cerita masyarakat setempat, awalnya kedua dusun itu hanya dihubungkan dengan jembatan gantung dari bambu. Konon tokoh adat di kawasan itu yang bernama Pakih Sokan menanam dua pohon beringin di kedua tebing yang saling berhadapan. Pakih Sokan bernazar akan menggelar ritual siram darah kambing jika akar-akar kedua pohon beringin itu menyambung. Setelah waktu berselang, entah bagaimana, akar kedua pohon beringin itu pun saling bertaut dan Pakih Sokan pun sangat bersuka cita. Lantas, Pakih Sokan menepati janjinya dan menggelar ritual potong kambing serta menyiram pertautan akar itu dengan darah kambing setiap tahunnya.

Untuk menjadikan sebuah jembatan yang bisa dilalui membutuhkan waktu selama 20 tahun. Sampai sekarang jembatan yang berukuran panjang 30 meter dan lebar 1 meter dengan ketinggian dari permukaan batang bayang sekitar 10 meter dan sudah berumur 93 tahun ini masih bisa dilalui warga sebanyak 25 kepala keluarga dari Puluik-puluik yang hendak mau ke Lubuak Silau.

Jembatan Akar
Di bawah jembatan akar tersebut ada ikan larangan yang tidak boleh dipancing dan diambil, ikan larangan itu berada di lubuk posisi di bawah jembatan akar itu. Jika kita buang makanan ikan-ikan tersebut keluar mengerubungi makanan yang ditebar. Lokasi wisata juga dijadikan tempat mandi-mandi karena airnya segar dan memiliki batu-batuan serta sering dijadikan lokasi arung jeram bagi para pencinta alam. Agar jembatan yang unik ini lebih terawat Pemkab Pesisir Selatan mengontrak areal tersebut pada Herman Datuak Rajo Bandaro, satu tahun Pemkab Pesisir Selatan mengontrak lokasi sebagai objek wisata.

"Pemkab Pesisir Selatan memang mengontrak daerah ini selama 5 tahun dengan nilai Rp 15.000.000 dan semua kebersihan serta perawatan diserahkan sepenuhnya pada warga setempat.Tiket masuk senilai Rp 1.500, untuk Rp 1.000 disetor kepada Pemkab termasuk honor pembersihnya, sementara Rp 500 untuk sumbangan ke Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) di daerah sini," terangnya.

Selain itu untuk lebih awet dan kuat warga setempat menjalin akar yang bergantungan ke bawah, namun itu akar yang sudah dewasa, kalau akar itu masih putih belum bisa dijalin nanti akan mati, jadi tunggu jika warnanya sudah kuning dan ukuran akar itu sebesar ibu jari dewasa baru dijalin. Setelah dijalin kemudian akar yang baru dijalin itu ditutupi sama batang pisang sebagai pendingin, karena makanan akar jawi-jawi tersebut dari batang pisang. Sekali sebulan warga memberikan batang pisang sebagai pupuknya agar lebih kuat dan terawat.
Jembatan Akar
Jika dilihat dari jumlah pengunjung kalau pada hari libur dan Minggu jumlah pengujung mencapai 200 sampai 500 orang namun jika pada hari Lebaran jumlah pengujung mencapai 1.000 orang lebih dari berbagai daerah baik yang ada di Sumatera Barat maupun dari luar. Agar jembatan yang dilalui para pengunjung tidak putus ada dua warga yang menjaga jembatan tersebut untuk mengatur orang yang melalui. Hingga kini jembatan itu masih tegar berdiri dari rangkaian akar pohon jawi-jawi.

Wisata Indonesia : Kuliner Ikan Kuah Pala Banda, Maluku

Ikan Kuah Pala Banda
Secara kultural, masyarakat asli Maluku yang terdapat di Kepulauan Banda, atau kepulauan yang termasyhur dengan nama gugusan pulau Banda Neira, secara umum merupakan masyarakat suku bangsa rumpun Melanesia Laut Pasifik. Rumpun suku bangsa ini tersebar di pulau-pulau kecil di antero Samudra Pasifik, seperti Kepulauan Kei, Tidore, Ambon, Aru, Fiji, Samoa, Solomon, dan Tonga. Dikatakan serumpun karena dari segi ras, lingkungan di mana mereka menetap, pola bahasa, lagu-lagu daerah, religiositas, mata pencaharian, hingga peralatan penunjuang aktivitas kehidupan sehari-hari memiliki banyak kemiripan.

Pun, makanan khas yang lahir di dalam kebudayaan Pasifik atau Melanesia Laut ini, dan tentu saja bahan dasar masakannya, dapat dikatakan serupa, yakni berbahan utama sagu dan ikan laut. Kendati demikian, tetap saja memungkinkan terjadinya keragaman kreasi masakan dari masyarakat yang memiliki pola kebudayaan yang sama. Dan, hal ini kita dapat temukan pada masyarakat Maluku di Kepulauan Banda yang terkenal karena keindahan taman lautnya dan menjadi area tujuan para penyelam dari seluruh dunia.

Masyarakat Banda, yang tersebar di 13 pulau yang pernah menyita perhatian bangsa Eropa pada abad ke-17 karena rempah-rempahnya ini, mempunyai berbagai koleksi warisan kuliner yang lezat. Letak kekuatan masakan khas Kepulauan Banda ialah pada kesegaran ikan, sayuran, serta rempah-rempah yang bisa memikat selera para penikmat wisata kuliner.

Satu di antaranya adalah masakan khas bernama Ikan Kuah Pala Banda. Menu ini hampir selalu hadir dalam setiap kesempatan, terutama kala Ramadhan tiba. Pada bulan sakral bagi umat muslim tersebut, Ikan Kuah Pala Banda selalu bersanding dengan menu-menu khas lainnya, seperti Dunang-dunang dan Kuah Asam Pala, utamanya pada saat sahur dan berbuka puasa.

Namun, jangan dibayangkan bahwa Ikan Kuah Pala Banda hanya disajikan dalam satu ragam menu. Dalam tradisi masyarakat Maluku Tengah, Ikan Kuah Pala Banda yang di dalamnya terdiri dari sup ikan dan sambal bekasang biasa dimakan bersama nasi dan ikan laut bakar.

Pengalaman menikmati masakan Ikan Kuah Pala Banda boleh jadi tidak akan terwakili ketika dilukiskan melalui bahasa. Namun, ketika menikmati menu yang terdiri dari sup ikan kuah pala dan sambal bekasang ini, konsumen akan ditarik ke dalam nuansa Pulau Banda yang kaya akan buah pala. Seolah, aroma dan rasa dalam resep masakan ini mewakili alam Banda Naira.

Menurut penduduk setempat, kenikmatan sup ikan kuah pala ini sudah dikenal sejak zaman nenek moyang mereka. Bahkan, karena saking lezatnya, sup ikan kuah pala selalu disajikan untuk para petinggi tentara Belanda yang datang ke Banda. Tradisi santap itu berlangsung hingga kawanan tentara kongsi dagang Belanda angkat kaki dari Banda.

Sumber sensasi kenikmatannya ada pada sup ikan kuah, terutama ketika rasa yang gurih, sedikit pedas, dan asam pala yang melebur menjadi satu melewati lidah konsumen. Kuah sup berbahan pala ini akan terasa sangat segar. Rasa pedas muncul di sana lantaran pedas pala yang halus, dan hangatnya dapat menjalar hingga ke lambung. Sup ikan ini dapat disantap sebagai pembuka, namun oleh sebagian orang bisa juga disantap sebagai sup penutup.

Sementara itu, pelengkap menu ini yang tidak boleh dilewatkan adalah sambal bekasang. Sambal ini melengkapi sensasi pedas menggigit lidah. Lidah juga digelitik rasa asam jeruk limau dalam sambal ini. Asam limau selain untuk menghilangkan aroma amis ikan, juga berfungsi menggugah selera makan.

Membuat sambal bekasang diperlukan waktu yang relatif lama, yakni satu minggu. Untuk membuat bekasang dibutuhkan ikan cakalang yang digiling halus. Daging giling ikan tersebut lantas dicampur dengan garam dan diungkep selama satu minggu dan jadilah bekasang. Sambal biasanya ditambahi irisan bawang merah, tomat, dan sedikit minyak goreng supaya sedap dan gurih.

Biasanya, sajian Ikan Kuah Pala Banda disertai pula dengan urap daun pepaya dan ikan kakap merah bakar yang berdaging lembut. Komposisi masakan yang demikian ini kemudian disantap bersama nasi. Kombinasi sajian semacam ini hanya dapat pengunjung temui di Banda Naira, di gugusan pulau-pulau kecil yang diitari oleh laut berpalung dalam, tidak di tempat lain.
Menu Ikan Kuah Pala Banda
Lebih dari itu, masakan ini teristimewakan lantaran tidak semua rumah makan menyediakan menu ini. Sebab, Ikan Kuah Pala Banda merupakan menu harian masyarakat Banda, sehingga justru sulit ditemui di restoran-restoran. Oleh karena itu, biasanya para wisatawan menanyakan kepada penduduk lokal dimana mereka bisa mendapatkan makanan ini.

Lokasi rumah makan yang menyediakan masakan ini terletak Kota Banda Naira di Pulau Banda melalui jalur laut (naik kapal), biasanya rumah makan tersebut berada di dekat Pelabuhan Naira. Di sana, pengunjung dapat memesan Ikan Kuah Pala Banda. Kendati demikian, kuliner khas masyarakat Maluku Tengah ini juga dapat dijumpai di sebagian rumah makan di Kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia.

Harga masakan ini bergantung pada rumah makan yang dikunjungi. Dan perlu diketahui juga bahwa kuliner khas itu tidak disajikan setiap hari karena harus dipesan terlebih dahulu. Jika pengunjung hendak makan malam dengan menu ini, maka harus memesan sejak siang harinya.

Sunday, April 3, 2005

Wisata Indonesia : Tari Seudati Aceh

Tari Seudati
Kata seudati berasal dari bahasa Arab syahadati atau syahadatain , yang berarti kesaksian atau pengakuan. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa kata seudati berasal dari kata seurasi yang berarti harmonis atau kompak. Seudati mulai dikembangkan sejak agama Islam masuk ke Aceh. Penganjur Islam memanfaatkan tarian ini sebagai media dakwah untuk mengembangkan ajaran agama Islam. Tarian ini cukup berkembang di Aceh Utara, Pidie dan Aceh Timur. Tarian ini dibawakan dengan mengisahkan pelbagai macam masalah yang terjadi agar masyarakat tahu bagaimana memecahkan suatu persoalan secara bersama. Pada mulanya tarian seudati diketahui sebagai tarian pesisir yang disebut ratoh atau ratoih, yang artinya menceritakan, diperagakan untuk mengawali permainan sabung ayam, atau diperagakan untuk bersuka ria ketika musim panen tiba pada malam bulan purnama. 

Dalam ratoh, dapat diceritakan berbagai hal, dari kisah sedih, gembira, nasehat, sampai pada kisah-kisah yang membangkitkan semangat. Ulama yang mengembangkan agama Islam di Aceh umumnya berasal dari negeri Arab. Karena itu, istilah-istilah yang dipakai dalam seudati umumnya berasal dari bahasa Arab. Diantaranya istilah Syeh yang berarti pemimpin, Saman yang berarti delapan, dan Syair yang berarti nyayian.
Tari Seudati sekarang sudah berkembang ke seluruh daerah Aceh dan digemari oleh masyarakat. Selain dimanfaatkan sebagai media dakwah, Seudati juga menjadi pertunjukan hiburan untuk rakyat.

Tari Seudati
Tari Seudati pada mulanya tumbuh di desa Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, yang dipimpin oleh Syeh Tam. Kemudian berkembang ke desa Didoh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie yang dipimpin oleh Syeh Ali Didoh. Tari Seudati berasal dari kabupaten Pidie. Seudati termasuk salah satu tari tradisional Aceh yang dilestarikan dan kini menjadi kesenian pembinaan hingga ke tingkat Sekolah Dasar.

Seudati ditarikan oleh delapan orang laki-laki sebagai penari utama, terdiri dari satu orang pemimpin yang disebut syeikh , satu orang pembantu syeikh, dua orang pembantu di sebelah kiri yang disebut apeetwie, satu orang pembantu di belakang yang disebut apeet bak , dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada pula dua orang penyanyi sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi.

Jenis tarian ini tidak menggunakan alat musik, tetapi hanya membawakan beberapa gerakan, seperti tepukan tangan ke dada dan pinggul, hentakan kaki ke tanah dan petikan jari. Gerakan tersebut mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan. Bebarapa gerakan tersebut cukup dinamis dan lincah dengan penuh semangat. Namun, ada beberapa gerakan yang tampak kaku, tetapi sebenarnya memperlihatkan keperkasaan dan kegagahan si penarinya. Selain itu, tepukan tangan ke dada dan perut mengesankan kesombongan sekaligus kesatria.
Tari Seudati
Busana tarian seudati terdiri dari celana panjang dan kaos oblong lengan panjang yang ketat, keduanya berwarna putih; kain songket yang dililitkan sebatas paha dan pinggang; rencong yang disisipkan di pinggang; tangkulok (ikat kepala) yang berwarna merah yang diikatkan di kepala; dan sapu tangan yang berwarna. Busana seragam ini hanya untuk pemain utamanya, sementara aneuk syahi tidak harus berbusana seragam. Bagian-bagian terpenting dalam tarian seudati terdiri dari likok (gaya; tarian), saman (melodi), irama kelincahan, serta kisah yang menceritakan tentang kisah kepahlawanan, sejarah dan tema-tema agama.