Saturday, December 4, 2010

Wisata Indonesia : Curug Malela, Mini Niagara di Kota Bandung

Curug Malela
Menjelajah Cekungan Bandung dengan gunung-gunung di sekelilingnya memang tidak ada habis-habisnya. Satu objek terkunjungi, objek lain sudah gugupay mengundang untuk datang. Banyak lokasi wisata air terjun di sekitar Bandung sudah dikunjungi dan Curug Malela mengundang kepenasaran untuk menyambanginya.

Curug Malela berada di Kampung Manglid, Desa Cicadas, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat, berbatasan dengan Kabupaten Cianjur di barat laut Bandung. GPS menunjukkan posisi koordinat S07*00’38.1″ E107*12’22.0″ di atas batu tempat memandang keindahan curug itu. Seperti ditulis di banyak situs blog pribadi, situs pariwisata, atau situs resmi Perhutani, maupun Pemkab Bandung Barat, air terjun ini memang mengagumkan.

Curug Malela
Berdasarkan peta topografi, sungai yang jatuh sebagai Curug Malela setinggi lebih kurang 50 m dan lebar mencapai 70 m, adalah Cicurug. Toponimi sungai yang sesuai dengan sifat sungai ini yang banyak mempunyai air terjun. Hulu sungai berasal dari lereng utara Gunung Kendeng dengan bekas kaldera raksasanya yang berdiameter hampir 15 km. Dari gunung api yang terletak di sebelah barat Ciwidey yang telah mati ini mengalir jaringan Sungai Cidadap. Cidadap mengalir ke arah barat laut melalui Kecamatan Gununghalu menggerus rangkaian batuan keras yang umumnya berciri produk letusan gunung api tua.

Aliran Cidadap setelah melewati utara Bunijaya, kemudian mengalir dengan pola rektangular, yaitu suatu pola aliran sungai yang berbelok-belok secara tajam, bahkan tegak lurus. Alirannya ke arah barat yang kemudian bernama Cicurug mulai memasuki relief sangat terjal di suatu dataran tinggi yang dulu dinamakan Plateau Rongga.

Suatu keniscayaan bagi sungai yang mengalir di atas plateau untuk kemudian pola alirannya terganggu oleh air terjun yang bertingkat-tingkat. Itulah yang terjadi pada aliran Cicurug. Selain Curug Malela yang terbesar, ke arah hilir terdapat beberapa tingkat air terjun yang dinamakan Curug Katumiri dan Curug Ngebul, sebelum sungai ini bermuara ke Cisokan.

Relief terjal Plateau Rongga memberikan medan terjal dengan lembah-lembah membentuk huruf V yang berkemiringan lebih dari 100% atau bersudut lebih dari 45 derajat. Itulah mengapa pengistilahan “dataran tinggi” menjadi kurang tepat karena jika kita menuju wilayah ini, kita akan menghadapi jalan yang turun naik berkelok-kelok. Di atas plateau ini ketika sungai-sungainya mengerosi daerah secara vertikal, lereng-lereng lembah selain menciptakan medan yang terbatas untuk dijelajahi, tapi dari sisi yang lain menciptakan lanskap yang memesona mata.

Beberapa puncak plateau mencapai ketinggian di atas 1.000 m di atas muka laut rata-rata membuat udara pada Plateau Rongga umumnya sejuk. Tata guna lahan adalah perkebunan dan hutan. Sejak zaman Belanda, wilayah ini diperuntukkan bagi perkebunan teh yang sekarang dikelola oleh PTP Nusantara VIII Montaya.

Keindahan Curg Malela
Batuan yang membuat relief menjadi terjal dan kasar itu adalah batu breksi dan konglomerat berumur Miosen Atas, kira-kira diendapkan pada lingkungan peralihan darat dan laut pada waktu 10 hingga 5 juta tahun yang lalu. Sumbernya diperkirakan beberapa gunung api purbakala di selatan Jawa Barat yang aktif pada masa itu. Jenis batuan ini yang di Curug Malela sendiri tampak berlapis-lapis, bersifat sangat keras. Kesan yang timbul dari kerasnya batuan dapat dilihat dari morfologi batuannya yang memperlihatkan dinding-dinding tegak yang licin. Itulah yang nampak pada dinding Curug Malela yang terlihat begitu kokoh dan anggun.

Keanggunan air terjun yang dalam foto kecepatan rendah memberikan kesan seperti benang-benang sutra halus, tidak dimungkiri telah menawan hati dan pandangan mata siapa yang datang mengunjunginya. Jika hari tidak keburu gelap, kita akan seharian duduk tanpa bosan-bosannya menyaksikan fenomena alam yang luar biasa ini.
Akan tetapi jangan ke Curug Malela jika Anda ingin berwisata! Bahan bacaan yang ada di situs-situs memang memberitakan keindahan Curug Malela. Bahkan sejak tahun 2006, beberapa media memuat pernyataan-pernyataan pejabat pariwisata yang memuji-muji potensi yang luar biasa ini. Kenyataannya, akses jalan yang seharusnya mulus menuju objek yang diunggulkan ini membuat pengendara frustrasi pada kunjungan pertama.

Ketiadaan penunjuk arah sejak Kota Kecamatan Gununghalu membuat kita selalu bertanya kepada penduduk yang dilalui. Memang betul malu bertanya sesat di jalan, tapi kalau terlalu banyak bertanya karena ketiadaan penunjuk arah, pengelola daerahlah yang sesat di jalan birokrasinya. Jadi setelah banyak bertanya, jalan akan mengarahkan kita ke arah Bunijaya dan berbelok ke arah kanan di daerah yang dikenal sebagai Simpang Rongga. Jalan kemudian berkelok-kelok menyempit menanjak. Sekalipun beraspal baik, tapi lubang-lubang besar membuat kelancaran perjalanan terganggu.

Di Kota Kecamatan Rongga, kita kembali dihadapkan pada persimpangan jalan dan terpaksa kembali bertanya. Jalan ke kiri yang diambil akan membawa kita ke daerah Kubang, Perkebunan teh Montaya. Jalan perkebunan asri yang diapit pohon-pohon mahoni dan damar membawa kita memasuki daerah perbukitan yang turun-naik berkelok-kelok pada jalan sempit. Beberapa kali kendaraan kita dapat langsung berhadapan pada kelokan sempit dengan kendaraan lain, atau terkejut ketika tiba-tiba pengendara ojek muncul di depan hidung kita dengan tiba-tiba.
Perjalanan Menuju Curug Malela
Perjalanan dari Gununghalu ke Kubang Montaya yang hanya berjarak kurang dari 20 km terpaksa harus ditempuh antara 1,5-2 jam perjalanan kendaraan roda empat, dengan banyak bertanya. Dari Simpang Kubang ke arah Cicadas kita akan didera jalan batu yang berlubang-lubang. Perlu waktu hampir satu jam menempuh jarak pendek tidak lebih dari 3 km itu.

Sesampainya di Cicadas bukan berarti Curug Malela telah ada di depan kita. Jalan berikutnya berupa jalan perkebunan yang tidak dapat dilalui mobil biasa harus ditempuh dengan cara jalan kaki. Perlu waktu kira-kira satu jam untuk akhirnya mencapai Curug Malela setelah menuruni jalan setapak terjal dengan beberapa lereng hampir 70 derajat. Sangat melelahkan. Silakan bayangkan jalan kembali melalui rute yang sama.

Sejak 2006 atau 2007, Pemerintah Kabupaten Bandung yang kemudian dilanjutkan oleh Bandung Barat telah menyatakan akan mengelola destinasi potensial ini. Hingga sekarang akses jalan kelihatannya sudah diperbaiki (sekalipun kembali berlubang-lubang), tetapi menyisakan hampir 5 km yang sangat menyiksa dan membuat frustrasi wisatawan.

Persoalan yang dilontarkan sangatlah klasik, yaitu kekurangan anggaran dan menunggu investor!

Dari sisi lingkungan, sebenarnya Curug Malela sangatlah rentan terhadap pencemaran. Jaringan hulu Cicurug yang berasal dari Cidadap melewati kota-kota kecamatan yang cukup padat, seperti Gununghalu dan Bunijaya. Sepanjang alirannya di wilayah permukiman Kecamatan Gununghalu, lembah Sungai Cidadap menjadi tempat pembuangan sampah, terutama dari rumah-rumah yang tumbuh di tepi sungai. Sampah-sampah itu terbawa aliran Cidadap untuk kemudian ikut jatuh di Curug Malela. Jangan heran jika di lereng-lereng bawah dekat air terjun itu kita akan mendapati tumpukan sampah-sampah plastik, sandal jepit, atau styrofoam.

Itulah Curug Malela Mini Niagara yang memberi berjuta pesona, tetapi sayang sekali tidak terkelola dengan baik, selain juga munculnya ancaman pencemaran sampah. Jadi kalau ingin berwisata, jangan ke Curug Malela, kecuali jiwa kepetualangan Anda yang terus memanggil karena pesona curug ini dapat mengalahkan hambatan aksesibilitas yang memprihatinkan.

0 comments:

Post a Comment