Dari segi asal usul bahasa (etimologi) Sintren merupakan gabungan dua suku kata “Si” dan “tren”. Si dalam bahasa Jawa berarti “ia” atau “dia” dan “tren” berarti “tri” atau panggilan dari kata “putri” (Sugiarto, 1989:15). Sehingga Sintren adalah ” Si putri” yang menjadi pemeran utama dalam kesenian tradisional Sintren.
Legenda Sintren
Kesenian sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh masyarakat dan memiliki dua versi. Versi pertama, berdasar pada legenda cerita percintaan Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Percintaan Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain (”sapu tangan”) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono.
Tepat pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai pertunjukan rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan, dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-sembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami “trance” dan saat itu pula R. Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat sulasih “trance/kemasukan roh halus/kesurupan” ini yang disebut “Sintren”, dan pada saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai “balangan”. Dengan ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai perkawinan.
Versi kedua, sintren dilatar belakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke VOC dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta.
Tak lama terbetik kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga Rantamsari begitu sedihnya mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah pantai utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari sintren dengan nama Dewi Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup.
Karena kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.
Tahapan menjadi Sintren
Tahapan menjadikan sintren dilakukan oleh Pawang dengan membawa calon penari sintren bersama dengan 4 (empat) orang pemain. Dayang sebagai lambang bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan didampingi para dayang/cantrik.
Pawang segera menjadikan penari sintren secara bertahap, melalui tiga tahap:
Tahap Pertama, pawang memegang kedua tangan calon penari sintren, kemudian diletakkan di atas asap kemenyan sambil mengucapkan mantra, selanjutnya calon penari sintren dengan tali melilit ke seluruh tubuh.
Tahap Kedua, calon penari sintren dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama busana sintren dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, sintren sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu sintren ditutup kurungan kembali.
Tahap Ketiga, setelah ada tanda-tanda sintren sudah jadi (biasanya ditandai kurungan bergetar/bergoyang) kurungan dibuka, sintren sudah lepas dari ikatan tali dan siap menari. Selain menari adakalanya sintren melakukan akrobatik diantaranya ada yang berdiri diatas kurungan sambil menari.
Selama pertunjukan sintren berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti.
Balangan dan Temohan
Balangan yaitu pada saat penari sintren sedang menari maka dari arah penonton ada yang melempar (Jawa : mbalang) sesuatu ke arah penari sintren. Setiap penari terkena lemparan maka sintren akan jatuh pingsan. Pada saat itu, pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu kedua tangan penari sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan mengusap wajah penari sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga penari sintren dapat melanjutkan menari lagi. Sedangkan temohan adalah penari sintren dengan nyiru/tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih berupa uang ala kadarnya.
Paripurna
- Tahap pertama, penari sintren dimasukkan ke dalam kurungan bersama pakain biasa (pakaian sehari-hari).
- Tahap kedua, pawang membawa anglo berisi bakaran kemenyan mengelilingi kurungan sambil membaca mantra sampai dengan busana sintren dikeluarkan.
- Tahap ketiga, kurungan dibuka, penari sintren sudah berpakain bisasa dalam keadaan tidak sadar. Selanjutnya pawang memegang kedua tangan penari sintren dan meletakkan di atas asap kemenyan sambil membaca mantra sampai sintren sadar kembali.
Tempat Penyajian Sintren
Tempat yang digunakan untuk pertunjukan kesenian sintren adalah arena terbuka. Maksudnya berupa arena pertunjukan yang tidak terlihat batas antara penonton dengan penari sintren maupun pendukungnya.Hal ini dimaksudkan agar lebih komunikatif dengan dibuktikan pada saat acara balangan dan temohan, dimana antara penonton dan penari sintren terlihat menyatu dalam satu pertunjukan dengan ikut menari setelah penonton melakukan balangan pada penari sintren.
Waktu Penyajian
Pegelaran sintren semula disajikan pada waktu sunyi dalam malam bulan purnama dan menurut kepercayaan masyarakat lebih utama lagi kalau dipentaskan pada malam kliwon, karena dikandung maksud bahwa sintren sangat berkaitan dengan kepercayaan adanya roh halus yang menjelma menyatu dengan penari sintren. Namun demikian pada saat sekarang ini pertunjukan sintren dapat dilaksanakan kapan saja baik siang atau malam hari tidak tergantung pada malam bulan purnama.
Busana Sintren
Busana yang digunakan penari sintren dulunya berupa pakaian kebaya (untuk atasan) sekarang ini menggunakan busana golek. Busana kebaya ini lebih banyak dipakai oleh wanita yang hidup di desa-desa sebagai busana keseharian.
Adapun macam-macam busana yang lain sebagai pelengkap busana penari sintren dapat diuraikan sebagai berikut :
Baju keseharian, yang dipakai sebelum pertunjukan kesenian sintren berlangsung.
Baju golek, adalah baju tanpa lengan yang biasa dipergunakan dalam tari golek.
Kain atau jarit, model busana wanita Jawa. Celana Cinde, yaitu celana tiga perempat yang panjangnya hanya sampai lutut. Sabuk, yaitu berupa sabuk lebar dari bahan kain yang biasa dipakai untuk mengikat sampur. Sampur, berjumlah sehelai/selembar dililitkan di pinggang dan diletakkan di samping kiri dan kanan kemudian diutup sabuk atau diletakkan didepan.
Jamang, adalah hiasan yang dipakai dikepala dengan untaian bunga melati di samping kanan dan kiri telinga sebagai koncer. Kaos kaki hitam dan putih, seperti ciri khas kesenian tradisional lain khususnya di Jateng. Kacamata Hitam, berfungsi sebagai penutup mata karena selama menari, sintren selalu memejamkan mata akibat kerasukan “trance”, juga sebagai ciri khas kesenian sintren dan menambah daya tarik/mempercantik penampilan.
Baju golek, adalah baju tanpa lengan yang biasa dipergunakan dalam tari golek.
Kain atau jarit, model busana wanita Jawa. Celana Cinde, yaitu celana tiga perempat yang panjangnya hanya sampai lutut. Sabuk, yaitu berupa sabuk lebar dari bahan kain yang biasa dipakai untuk mengikat sampur. Sampur, berjumlah sehelai/selembar dililitkan di pinggang dan diletakkan di samping kiri dan kanan kemudian diutup sabuk atau diletakkan didepan.
Jamang, adalah hiasan yang dipakai dikepala dengan untaian bunga melati di samping kanan dan kiri telinga sebagai koncer. Kaos kaki hitam dan putih, seperti ciri khas kesenian tradisional lain khususnya di Jateng. Kacamata Hitam, berfungsi sebagai penutup mata karena selama menari, sintren selalu memejamkan mata akibat kerasukan “trance”, juga sebagai ciri khas kesenian sintren dan menambah daya tarik/mempercantik penampilan.
0 comments:
Post a Comment